Kisah Babat Lemah Jawi tentang Penguasa Jawa Tengah, Pemuda gagah yang kisahnya menyedihkan, sampai dinyanyikan dalam tembang(lagu) "Megatruh" (Megat: Memisahkan, Ruh: Roh)
Adalah seorang pemuda bernama Jaka Tingkir (Joko Timgkir dalam bahasa Jawa) sosok gagah dan tampan, ayahnya adalah murid dari Syeh Siti Jenar, Joko Tingkir mengasah kesaktiannya sehingga ia bisa membalaskan dendam kepada kerjaan Demak yang pada waktu itu atas titah raja, hidup ayahnya berakhir ditangan sunan kudus.
Perjalanan panjang menghantarkan Joko Tingkir kedalam kerjaaan demak, namaun hanya sebentar, kisah perjuangannya harus diuji ia ditendang dari kerjaan demak karena ia membunuh seorang prajurit yang hobi sesumbar. Ia harus merangkai lagi sebuah cara untuk memasuki kerajaan demak.
Ia bertapa dan berguru mengasah lagi kesaktiannya, suatu hari ia kembali menyusuri sungai untuk measuki kerajaan demak, ditengah perjalananya di perairan demak, rakintnya dihadang puluhan siluman buaya, buaya-buaya tersebut bertubuh besar dan bersisik tajam, tangguh dan tak mudah dikalahkan, tapi Joko Tingkir yang kesaktiannya telah melampaui para prajurit demak tak gentar dan kjemudian merhasil mengalahkan pimpinan siluman buaya tersebut. Alhasil para pasukan siluman buayapun mengabdi padanya, membantu mendorong rakitnya.
Joko Tingkir memantrai seekor kerbau untuk menyerang raja demak pada saat itu, kerbau tersebut tak terhentikan oleh siapapun, kemudian ia hadir sebagai sosok pahlawan. Raja Demak menghargai jasanya dan memberikan jabatan istimewa untuk Joko Tingkir.
Joko Tingkir berprestasi dan kemudian ia dijadikan Adipati pajang, kemudian diberi gelar Hadiwijaya, tak lama setelah kematian raja demak, putra mahkotanyapun dibunuh oleh Arya Penangsang, sebuah sayembara kemudian digelar untuk perburuan Arya Penangsang, Joko Tingkirlah yang memenangkanya dan ia yang memenangkan tahta kekuasaanya pula.
Kerajaan Pajang kemudian menjadi besar dan disaat pelantikannya ia membagi-bagikan tanah kekuasaannya, tapi ada satu tanah yang ia tahan, tanah mataram bekas kerajaan mataram pada jaman dahulu, tanah tersebut seharusnya dihadiahkan ke Ki Ageng Pamanahan. Joko Tingkir tidak meenunda-nunda karena seorang peramal mengatakan bahwa dari tanah mataraman tersebut akan muncul orang yang mampu mengalahkan Pajang.
Cerita bergulir kemudian saat Ki Ageng Pamanahan disumpah setia kepada kerajaan pajang, kemudian Joko Tingkir menyerahkan tanah mataram.kisah hancurnya pajangpun bermula dari situ.
Joko Tingkir yang memiliki kekuasaan, berparas tampan dan juga gagah sangat judah memikat perempuan manapun, kerap kali ia menyebrangi sungai dengan rakit dan buayanya untuk sekedar berjalan-jalan, sekalinya ia berhenti di hutan poleng, hatinya tertambat pada putri lundhi, karena banyak hal ia harus meninggalkan lundhi dan juga bayi dalam kandunganya. Babat Lemah Jawi menceritakan mereka terpisah selamanya dan anaknyapun memilih bersama ibunya.
Kegemarannya mempermainkan perempuanpun dimulai dari situ, ia kemudian menabur benih pada pasangan Ki Ageng Pamanahan, istrinya melahirkan anak bernama Sutawijaya, Joko Tinggir mengangkat Sutawijaya menjadi anak angkatnya tapi tidak ada yang tahu penerus tahta kerajaan mataram baru ini adalah anak kandungnya.
Ego dari Joko Tingkir suatu kali membuatnya merasa Sutawijaya melakukan perbuatan kurang sopan dan kemudian ia menyerang kerjaan Mataram. Pasukan Pajang yang berpusant di Prambananpun dikerahkan, jumlahnya sangat banyak, cukup untuk menghabisi pasukan mataram, tapi takdir telah menggariskan hal yang lain, pasukan pajang kalah dan harus mundur belum lagi ketika mereka mundur, Gunung Merapi meletus dan laharnya membunuh beberpa pasukan pajang. Joko Tingkir yang kelelahan bahkan jatuh dari gajah tungganganya, ia sekarat.
Setibanya di Pajang, seorang makhluk halus kemudian datang memukul dadanya, sakitnya bertambah parah dan ia meninggal, meninggal ditangan anaknya sendiri.
Anak dari Joko Tingkir kemudian dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan Arya Panggiri Bupati Demak, Arya Panggiri kemudian menggantikan posisi Joko Tingkir.
Perang saudara terus berlanjut, kisahnya sangat mengenaskan. Kemudian yang tersisa hanyalah rakitnya, yang dikenang orang-orang, buaya yang menemaninya dan sifat 'playboynya' yang diibaratkan ironi seekor buaya yang tidak setia.
Kisah Joko Tingkir ini sangat menyedihkan, cintanya yang terputus, hidupnya yang penuh kesusahan dan diakhiri dengan penderitaan. Sampai-sampai dibuat sebuah Tembang(lagu) Jawa dalam alunan "Megatruh"
Megatruh:
Megat: "memisahkan"
Ruh: "Roh"
Kesedihan kisahnya sampai diibaratkan hendak memisahkan roh. Kini biasanya dinyanikan saat ada seseorang yang berpulang ataupun untuk mengambarkan kesedihan hati
sigra milir sang gethek si-nangga bajul
kawan dasa kang njagèni
ing ngarsa miwah ing pungkur
tanapi ing kanan kéring
kang gèthèk lampahnya alon
mengalirlah segera rakit yang dipikul buaya
empat puluh penjaganya
di depan juga di belakang
tak lupa di kanan kiri
sang rakitpun berjalan pelan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar